Bandung, BandungOke.com – Di tengah gegap gempita acara Senandung Perdana 2025, Wali Kota Bandung Muhammad Farhan melontarkan pesan yang terdengar manis di panggung, tetapi menyimpan ironi pedih: rumah seharusnya menjadi ruang paling aman bagi perempuan dan anak.
Nyatanya, tidak sedikit yang justru ingin lari dari rumah mereka sendiri.
Farhan bahkan mengungkap kasus anak perempuan yang kabur karena intimidasi di dalam rumah. Sebuah sinyal keras bahwa persoalan kekerasan domestik bukan hanya angka statistik, tetapi realitas yang menyelinap masuk ke rumah-rumah warga Bandung tanpa kecuali.
Empat instruksi Farhan kepada DP3A dan jajaran ASN tampak progresif—mulai dari memastikan rumah aman, membangun keberanian melapor, hingga memperkuat jejaring perlindungan di wilayah.
Namun pertanyaan mendasar tetap muncul: apakah instruksi ini cukup keras untuk menjawab maraknya kekerasan yang sering tertutup oleh budaya diam?
Program Senandung Perdana yang dijalankan DP3A memang mengesankan, menjangkau ribuan peserta dari berbagai latar. Begitu pula inovasi Kalung Perak, yang mengajak masyarakat terlibat dalam perlindungan perempuan dan anak.
Tetapi Gatra bertanya: apakah program-program ini menjangkau akar kekerasan, atau hanya memperkuat sisi hilir saja?
Bandung masih menghadapi tantangan serius: laporan yang mandek, aparat yang sesekali abai, hingga minimnya keberanian korban untuk membuka suara. Farhan meminta TNI-Polri tidak meremehkan laporan kekerasan—sebuah pengakuan tersirat bahwa kasus demikian memang kerap dipandang sepele di lapangan.
Melindungi perempuan dan anak membutuhkan lebih dari sekadar program, honorarium kader, atau seremoni launching. Ia perlu keberpihakan politik yang tegas, anggaran yang memadai, serta keberanian mengoreksi institusi sendiri ketika ada aparat yang lalai.
Senandung Perdana boleh bergema. Kalung Perak boleh diluncurkan. Tetapi selama kekerasan masih bersembunyi di balik tembok rumah warga, Kota Bandung belum bisa disebut aman—setidaknya bukan bagi mereka yang paling rentan.***






