Bandung, BandungOke.com — Di halaman kampus yang biasanya dipenuhi ritme cepat para mahasiswa teknologi, pagi itu Telkom University memilih berhenti sejenak.
Bukan untuk melambat, melainkan untuk mengubah arah sejarah kecilnya dengan meresmikan Unit Layanan Disabilitas (ULD).
Sebuah ruang baru yang menegaskan bahwa kampus modern tak cukup hanya maju secara akademik, tetapi juga empatik secara budaya.
Dalam gaya khas kampus teknologi yang gemar berinovasi, peresmian ini bukan lagi diperlakukan sebagai seremoni formal. Lebih mirip pengumuman start-up yang meluncurkan produk baru—hanya saja “produk” kali ini adalah sistem pendukung bagi mahasiswa disabilitas yang selama ini memilih diam, menyembunyikan kondisi mereka sampai semester tiga atau empat.
“Baru di tengah jalan kami mengetahui bahwa mereka penyandang disabilitas, sehingga layanan harus menyesuaikan,” kata Rektor Telkom University Prof. Dr. Suyanto, usai meresmikan ULD, Kamis (4/12/2025). “Karena itu kami terinspirasi untuk membangun unit seperti yang sudah lama dimiliki UGM, UNAIR, atau Brawijaya.” ujarnya.
Gagasan itu sebenarnya sudah mengendap sejak Maret 2025. Yang mempercepat semuanya adalah dengan adanya dukungan pendanaan dari Kemendikbudristek. Tel-U mengajukan proposal, dan empat hingga lima bulan kemudian, bangunan serta ekosistem baru itu berdiri.
“Alhamdulillah Tel-U mendapatkan pendanaan. Hanya dalam beberapa bulan, unit ini sudah bisa berdiri dan diresmikan,” ujar Suyanto.

Empati sebagai Teknologi Baru
Di Telkom University, teknologi bukan sekadar perangkat keras dan perangkat lunak. Ia kini juga tentang kepekaan.
Suyanto menyebut kehadiran ULD sebagai ruang pembelajaran sosial bagi mahasiswa non-disabilitas atau yang ia sebut mahasiswa “able” untuk melatih empati dan profesionalisme.
Contohnya datang dari sejarah dimana Stephen Hawking, yang menaklukkan kosmos dari kursi rodanya, atau Alexander Graham Bell, yang menciptakan telepon dari kedekatannya dengan dunia tunarungu.
“Mahasiswa able bisa mendapat inspirasi untuk menciptakan teknologi maju yang bermanfaat bagi semua manusia,” katanya.
Di tahap awal, layanan ULD menyediakan pendampingan melalui body connector dari komunitas CARE di Fakultas Komunikasi dan Bisnis serta lintas fakultas lainnya. Mereka bertugas mendampingi tunanetra atau tunarungu, baik saat perkuliahan maupun kegiatan harian di asrama atau kos.
Melawan Bullying dengan Sistem
Dengan hadirnya ULD, Telkom University ingin memutus rantai lama: diskriminasi, perundungan, dan kekerasan mental terhadap mahasiswa disabilitas.
“Unit ini akan bisa mereduksi atau bahkan mengeliminasi bullying maupun kekerasan fisik dan mental,” tegas Suyanto. “Mindset empati dan profesionalisme harus menjadi budaya seluruh civitas akademika.”
Ini bukan sekadar soal layanan; ini transformasi kultural.
Model Inklusif untuk Negeri
Suyanto menutup peresmian dengan sikap yang tak biasa di dunia pendidikan tinggi yang penuh kompetisi yakni dengan membuka pintu selebar-lebarnya bagi kampus lain untuk meniru ULD Tel-U.
“Silakan. Kami senang sekali. Tel-U tidak punya kompetitor, semuanya kolaborator. Kita bekerja bersama untuk masyarakat, bangsa, dan dunia,” ujarnya.
Di antara gedung-gedung modern Telkom University, ULD berdiri bukan sebagai ruang baru semata, tetapi sebagai pengingat bahwa teknologi paling canggih di kampus mana pun tetaplah manusia dan kemampuan mereka untuk melihat satu sama lain.***






