Jakarta, BandungOke.com – Setiap pagi, jutaan orang bergerak nyaris serempak. Dari pinggiran Bogor, Bekasi, Tangerang, hingga pusat Jakarta, mobilisasi urban menjadi denyut yang tak pernah berhenti.
Di wilayah metropolitan seperti Jabodetabek, perjalanan bukan lagi soal jarak, melainkan tentang kecepatan, keterhubungan, dan kepastian waktu. Di sinilah transportasi publik berbasis rel memainkan peran kunci—bukan sekadar pelengkap, tetapi penentu ritme kota.
Sepanjang Januari hingga November 2025, PT Kereta Api Indonesia (Persero) melalui KAI Commuter dan LRT Jabodebek melayani ratusan juta perjalanan. KRL Jabodetabek sendiri mengangkut 317,67 juta pengguna, disusul LRT Jabodebek dengan 26,11 juta pengguna, serta Commuter Line Bandara Soekarno-Hatta yang melayani 2,12 juta perjalanan.
Angka-angka ini mencerminkan satu hal: rel telah menjadi jalur utama mobilisasi urban.
“Mobilitas urban Jabodetabek terus meningkat. KAI Group fokus memastikan layanan berbasis rel hadir sebagai pilihan harian yang andal, terintegrasi, dan mampu menjawab kebutuhan perjalanan jarak dekat maupun jarak menengah,” ujar Vice President Corporate Communication KAI, Anne Purba, dikutip Senin (15/12/2025)
Kepadatan mobilitas paling terasa di lima lintas utama KRL Jabodetabek. Bogor Line mencatat pergerakan tertinggi dengan lebih dari 141 juta pengguna, disusul Cikarang Line, Rangkasbitung Line, Tangerang Line, dan Tanjung Priuk Line.
Pola ini menunjukkan relasi kuat antara wilayah hunian di pinggiran dan pusat aktivitas ekonomi di Jakarta—sebuah pola urbanisasi yang terus mengeras.
Simpul-simpul transit menjadi arena krusial. Stasiun Bogor, Tanah Abang, Sudirman, Citayam, dan Bekasi mencatat puluhan juta transaksi keluar-masuk penumpang. Namun, Manggarai tetap menjadi episentrum.
Dengan lebih dari 52 juta transaksi transit, stasiun ini menjelma jantung pergerakan urban nasional—tempat berbagai lintas bertemu, bersilang, dan mengalirkan manusia ke tujuan akhir.
Moda pendukung pun ikut memperkuat ekosistem ini. Commuter Line Bandara Soekarno-Hatta tumbuh hampir 25 persen dibanding tahun lalu, menandakan pergeseran preferensi penumpang dari kendaraan pribadi ke angkutan rel.
LRT Jabodebek, dengan 26 juta pengguna, menjadi tulang penyangga baru bagi kawasan timur dan selatan Jakarta, terutama pada hari kerja dengan rata-rata hampir 100 ribu penumpang per hari.
Integrasi antarmoda menjadi kata kunci. Dukuh Atas dan Cikoko–Cawang berfungsi sebagai simpul strategis yang menyatukan KRL, LRT, dan moda lain. Integrasi ini bukan sekadar soal infrastruktur, tetapi tentang memotong waktu tempuh, mengurai kepadatan, dan menciptakan pengalaman perjalanan yang lebih rasional di kota yang kronis macet.
Komitmen negara ikut mempertegas arah ini. Presiden Prabowo Subianto menyetujui alokasi anggaran hingga Rp5 triliun untuk pengadaan 30 rangkaian KRL baru di Jabodetabek.
Langkah ini dibaca sebagai pengakuan bahwa mobilisasi urban tak bisa lagi ditopang oleh jalan raya semata. Rel harus diperkuat, baik dari sisi kapasitas maupun keandalan.
Sejak Juni 2025, KAI Commuter telah mengoperasikan 11 rangkaian KRL baru, masing-masing dengan 12 kereta. Total 132 unit kereta ini menggantikan sarana lama yang memasuki usia senja—sebuah upaya menjaga ritme perjalanan tetap stabil di tengah lonjakan permintaan.
“Dalam jangka pendek, penguatan sarana diperlukan untuk menjaga keandalan layanan. Dalam jangka panjang, penambahan kapasitas dan replacement sarana menjadi kebutuhan strategis agar transportasi publik tetap mampu mengikuti pertumbuhan mobilitas Jabodetabek,” kata Anne.
Mobilisasi urban Jabodetabek kini bergerak di atas rel yang kian padat. Tantangannya bukan lagi mengajak orang naik transportasi publik, melainkan memastikan sistem ini sanggup menampung arus yang terus membesar. Di kota yang bergerak tanpa henti, kereta bukan sekadar alat angkut—ia adalah fondasi peradaban urban.***






