Subang, BandungOke.com – Peresmian pabrik mobil listrik VinFast di Cibogo, Kabupaten Subang, bukan sekadar seremoni industri.
Ia adalah penanda babak baru—sekaligus ujian—bagi ambisi Jawa Barat dan Indonesia memasuki arena ekonomi hijau global.
Di satu sisi, negara menyambut modal, teknologi, dan janji masa depan. Di sisi lain, publik berhak bertanya: seberapa siap ekosistem lokal menanggung konsekuensinya?
Wakil Gubernur Jawa Barat Erwan Setiawan bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto meresmikan operasional VinFast Factory, Senin (15/12/2025).
Pabrik ini digadang-gadang sebagai motor penggerak industri kendaraan listrik (EV) di Tanah Air—memproduksi mobil listrik seri VF3 hingga VF7, bus listrik, skuter listrik, hingga baterai pendukungnya.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat menempatkan momentum ini sebagai investasi kepercayaan.
“Peresmian pabrik VinFast di Subang hari ini menjadi sebuah tonggak penting bagi penguatan industri masa depan Indonesia. Selamat dan apresiasi setinggi-tingginya kepada VinFast atas beroperasinya fasilitas manufaktur ini,” ujar Erwan dikutip Selasa (16/12/2025)
Narasi optimisme itu tak berdiri di ruang hampa. Jawa Barat memang memegang peran strategis sebagai episentrum industri nasional. Infrastruktur logistik, kedekatan dengan pelabuhan, hingga ketersediaan tenaga kerja menjadi daya tarik utama.
Namun, industrialisasi cepat selalu menyimpan risiko laten: ketimpangan, tekanan lingkungan, dan ketergantungan rantai pasok global.
Erwan menegaskan kesiapan daerahnya.
“Keberadaan pabrik VinFast di Subang menegaskan bahwa Jabar siap menjadi pusat pengembangan industri kendaraan listrik, sekaligus bagian penting dari rantai pasok global otomotif ramah lingkungan. Ini sejalan dengan arah kebijakan pembangunan Jabar dan Nasional, yakni transisi energi bersih, industrialisasi hijau, dan ekonomi berkelanjutan,” terangnya.
Klaim multiplier effect pun mengemuka. Pemerintah memperkirakan pabrik ini akan menyerap 1.000 hingga 3.000 tenaga kerja lokal. Transfer teknologi, tumbuhnya industri pendukung, serta penguatan UMKM disebut sebagai dampak ikutan yang diharapkan.
Namun, pengalaman industrialisasi sebelumnya mengajarkan satu hal: efek berganda tak pernah otomatis. Ia mensyaratkan kebijakan yang ketat—dari kewajiban local content, peningkatan kapasitas tenaga kerja lokal, hingga pengawasan lingkungan yang konsisten. Tanpa itu, kawasan industri bisa berubah menjadi enclave produksi yang minim nilai tambah bagi warga sekitar.
Erwan menyinggung dimensi ini secara eksplisit.
“Kami menyambut baik visi VinFast yang mengedepankan kendaraan listrik sebagai solusi mobilitas masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan. Pembangunan industri hari ini tidak hanya tentang produksi dan keuntungan, tetapi juga tentang tanggung jawab lingkungan dan sosial,” tegasnya.
Pernyataan tersebut menjadi penting, mengingat industri kendaraan listrik kerap menyembunyikan paradoks: hijau di produk akhir, tetapi abu-abu di proses hulu—dari konsumsi energi, limbah baterai, hingga jejak karbon logistik.
Dari sisi korporasi, VinFast menampilkan narasi kecepatan dan kepastian eksekusi. CEO VinFast Asia, Pham Sanh Chau, menyebut pembangunan pabrik di Subang sebagai bukti keseriusan mereka menancapkan ekosistem hijau di Asia Tenggara.
“17 bulan yang lalu, kami memulai pembangunan pabrik ini dengan misi yang jelas, yakni membangun ekosistem hijau yang komprehensif. Hal ini menjadi bukti kuat atas semangat ‘mengatakan dan mewujudkan’, serta kemampuan eksekusi dan kecepatan VinFast sebagai sebuah perusahaan global,” kata Pham.
Pabrik di Subang ini merupakan fasilitas produksi pertama VinFast di Asia Tenggara dan yang kedua di luar Vietnam. Secara global, VinFast kini memiliki empat fasilitas produksi—dan Indonesia ditempatkan sebagai basis penting untuk produksi dan distribusi kendaraan listrik regional.
Posisi strategis ini sekaligus menempatkan Indonesia dalam kompetisi ketat industri EV Asia, bersaing dengan Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Pertanyaannya bukan lagi apakah investasi datang, melainkan bagaimana negara memastikan kedaulatan industri: siapa yang menguasai teknologi, siapa yang menikmati nilai tambah, dan siapa yang menanggung biaya sosial-ekologisnya.
Peresmian VinFast di Subang membuka peluang besar. Namun, ia juga menuntut konsistensi kebijakan. Tanpa pengawalan ketat, jargon ekonomi hijau bisa berakhir sebagai slogan—sementara beban nyata justru ditanggung daerah.
Di titik ini, pabrik VinFast bukan hanya soal mobil listrik. Ia adalah cermin: sejauh mana Indonesia benar-benar siap menjemput masa depan industri, tanpa mengorbankan keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.***
Editor : Deny Surya






