Jakarta, BandungOke — Peningkatan suhu bumi bukan lagi sekadar grafik dalam laporan ilmiah. Ia menjelma banjir bandang, kekeringan berkepanjangan, gelombang panas, hingga ancaman nyata tenggelamnya wilayah pesisir.
Di Indonesia, perubahan iklim mempercepat risiko bencana hidrometeorologi, menggeser musim tanam, dan memperlemah daya dukung lingkungan hidup dan dampak yang ujungnya kembali menghantam ruang hidup manusia.
Dalam lanskap krisis itu, pendidikan tinggi dituntut melampaui peran klasiknya sebagai penghasil lulusan. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) memilih turun ke medan problem melalui International Symposium and Workshop on Sustainable Buildings, Cities, and Communities (SBCC 2025), yang digelar Senin (15/12) di Jakarta.
Forum internasional ini mengusung tema “A Sustainable Cooling for Cities: Designing for Hot and Humid Climates”, menempatkan persoalan pendinginan kota sebagai pintu masuk membahas krisis iklim tropis.
Bagi UPI, simposium ini bukan sekadar agenda akademik. Ia merupakan bagian dari komitmen Pusat Keunggulan Universitas untuk Bahan Bangunan dan Energi Rendah Emisi (PUU MEB) dalam memperkuat kolaborasi lintas sektor dan mendorong pembangunan lingkungan yang rendah karbon, tangguh terhadap bencana, serta layak hunian, utamanya bagi kota-kota yang kian panas dan padat.
Rektor UPI Prof. Dr. H. Didi Sukyadi, M.A., menegaskan bahwa perguruan tinggi tak bisa lagi berdiri netral di tengah krisis ekologis.
“UPI tidak hanya berperan sebagai institusi pendidikan, tetapi sebagai agen perubahan yang mentransformasikan ilmu pengetahuan menjadi ketahanan sosial dan lingkungan,” ujar Didi dikutip Rabu (17/12/2025)
Menurutnya tantangan kota tropis mulai dari fenomena urban heat island, tekanan energi, hingga dampak kesehatan akibat panas ekstrem menuntut pendekatan lintas disiplin dan kolaborasi global. Pendidikan, dalam konteks ini, menjadi ruang produksi solusi, bukan sekadar wacana.
Nada serupa disampaikan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) RI Fahri Hamzah. Ia menilai krisis iklim telah memaksa sektor perumahan bergerak cepat menuju model hunian yang adaptif dan rendah emisi.
“Pembangunan perumahan tidak bisa lagi hanya mengejar kuantitas. Kita harus memastikan rumah yang dibangun aman, adaptif terhadap bencana, dan berkelanjutan,” tegas Fahri.
Ia menyinggung double backlog, dimana jutaan keluarga yang tinggal di rumah tidak layak sekaligus tak memiliki hunian. Hal ini menjadi persoalan struktural yang tak bisa diselesaikan dengan pendekatan lama.
Fahri mendorong pemanfaatan arsitektur lokal, material ramah lingkungan seperti kayu dan bambu, serta desain pendinginan pasif untuk menekan konsumsi energi dan emisi karbon.
Dari sudut pandang akademik, Ketua Konferensi SBCC 2025 Ar. Dr. Eng. Beta Paramita, IAI., GP, menekankan pentingnya menjembatani riset dengan realitas sosial.
“Isu pendinginan berkelanjutan sangat berdampak langsung pada masyarakat rentan. Karena itu, rekomendasi yang dihasilkan harus mudah dipahami dan dapat diterapkan secara nyata,” ujarnya.
SBCC 2025 membahas berbagai isu strategis, pendinginan pasif di iklim tropis, material bangunan rendah emisi, perencanaan kota adaptif iklim, efisiensi energi, tata kelola pentahelix, hingga pemanfaatan data dan pemodelan iklim perkotaan.
Semua dirancang agar hasil diskusi tak berhenti di ruang konferensi, melainkan dapat diterjemahkan ke kebijakan dan praktik pembangunan.
Dalam kerangka global, forum ini juga diposisikan sebagai kontribusi nyata pendidikan tinggi terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)khususnya SDG 11 tentang kota berkelanjutan, SDG 12 tentang produksi dan konsumsi bertanggung jawab, SDG 13 penanganan perubahan iklim, serta SDG 7 energi bersih dan terjangkau.
Melalui SBCC 2025, UPI menegaskan satu hal yakni di tengah suhu bumi yang terus meningkat dan pesisir yang perlahan tergerus, kampus tidak boleh hanya menjadi penonton.
Pendidikan, riset, dan kolaborasi lintas sektor harus menjelma strategi bertahan—agar kota tetap layak huni, dan masa depan tak ikut tenggelam.***






