Bandung, BandungOke — Di tengah euforia teknologi digital dan industrialisasi, pertanian kerap dipersepsikan sebagai sektor lama yang pelan dan tertinggal.
Padahal, krisis pangan global, perubahan iklim, hingga ketimpangan antara desa–kota justru menegaskan satu hal yakni pertanian tetap relevan, bahkan semakin mendesak.
Di titik inilah pendidikan tinggi diuji, apakah sekadar mencetak tenaga ahli teknis, atau turut membaca realitas sosial yang melingkupi sawah, petani, dan desa.
Pesan itu mengemuka dalam Kuliah Wada Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia, DEA, bertajuk “Membumikan Teori Sosiologi untuk Mengkaji, Memahami, dan Bertindak”, yang digelar di Grha Sanusi Hardjadinata, Kampus Iwa Koesoemasoemantri Universitas Padjadjaran, Rabu, 17 Desember 2025.
Bagi Ganjar, sosiologi, khususnya sosiologi pedesaan dan pertanian bukan sekadar perangkat teori, melainkan alat kritis untuk membaca realitas petani, relasi kuasa, serta dampak pembangunan.
Ia menegaskan bahwa pembangunan pertanian tak bisa direduksi menjadi urusan produksi dan angka statistik semata.
“Pendekatan metamodernisme membuka ruang untuk mengatakan, kita tetap memerlukan ilmu agronomi, teknologi irigasi, data produksi, dan kebijakan pangan yang terencana, namun semua itu harus dirancang dalam dialog petani, menghargai keanekaragaman lokal, keadilan agraria, dan keberlanjutan ekologis,” ujar Prof. Ganjar.
Dalam perspektif pendidikan, gagasan itu menjadi kritik halus terhadap cara kampus memosisikan pertanian. Ilmu pertanian, menurut Ganjar, harus dibaca sebagai proses sosial yang memengaruhi relasi kuasa, struktur kepemilikan lahan, hingga nasib petani kecil. Karena itu, sosiologi pedesaan menjadi fondasi agar kebijakan pertanian tidak lahir dari ruang hampa.
“Sosiologi mengajarkan bahwa antara landasan, cara, dan tujuan haruslah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hal seperti ini berlaku umum di dalam seluruh kehidupan,” katanya.
Kuliah wada, kuliah terakhir menjelang purnabakti, dimaknai Ganjar sebagai ruang refleksi akademik. Bukan penutup, melainkan penanda bahwa gagasan ilmiah justru harus terus hidup di luar masa jabatan formal.
Perjalanan akademiknya, dari Fakultas Pertanian Unpad hingga meraih doktor sosiologi di Universitas Paris X Nanterre, membentuk pandangan bahwa pertanian tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan, keadilan sosial, dan keberlanjutan ekologi.
Rektor Unpad Prof. Arief S. Kartasasmita menilai pemikiran Ganjar sebagai warisan intelektual yang melampaui usia pensiun.
“Usia pensiun hanyalah angka dan administratif saja, karena menurut saya, pemikiran Prof. Ganjar juga hal-hal yang diwariskan akan terus abadi di antara kita semua,” ujarnya.
Nada serupa disampaikan Ketua Senat Akademik Unpad Prof. Dr. dr. Yoni Fuadah Syukriani, M.Si., DFM. Ia menegaskan bahwa pengabdian pendidik tidak mengenal titik akhir.
“Kegiatan ini diadakan untuk menyerap inti sari dari kearifan dan pengalaman Prof. Ganjar,” katanya.
Dalam konteks lebih luas, kuliah wada ini menegaskan kembali posisi pertanian sebagai simpul strategis pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) mulai dari pendidikan berkualitas (SDG 4), pekerjaan layak (SDG 8), kota dan permukiman berkelanjutan (SDG 11), hingga perlindungan ekosistem daratan (SDG 15).
Pendidikan pertanian, dengan demikian, bukan sekadar urusan kampus, tetapi bagian dari upaya menjaga keberlanjutan hidup bersama.
Ketika pembangunan kerap melaju tanpa mendengar suara desa, pesan Prof. Ganjar menjadi pengingat, pertanian tidak pernah usang.
Yang sering tertinggal justru cara pandang kita dalam merumuskannya. Dan di sanalah pendidikan dituntut hadir untuk senantiasa membaca, mengkritik, dan bertindak.***






