Bandung, BandungOke – Di Kelurahan Citarum, Bandung Wetan, persoalan sampah kembali menyingkap wajah klasik kota padat: lahan sempit, kepentingan warga beragam, dan tekanan untuk bergerak cepat.
Pemerintah Kota Bandung memilih jalur responsif—bahkan agresif—dengan mengintervensi langsung pengelolaan sampah di tingkat RW.
Langkah itu bukan tanpa gesekan. Di RW 5, misalnya, solusi justru lahir dari perdebatan warga sendiri. Kantor RW lama dialihfungsikan menjadi fasilitas pengolahan sampah, sementara kantor baru dipindahkan ke lokasi lain. Skema ini menegaskan satu hal: kebijakan lingkungan di kota tak pernah steril dari politik ruang dan kompromi sosial.
“Memang sempat ada perbedaan pendapat di masyarakat,” ujar Lurah Citarum Aang Irpan Mujahid. Namun pada akhirnya, warga menerima solusi yang dinilai paling realistis di tengah keterbatasan lahan.
Pemkot kemudian masuk memperkuat infrastruktur. Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga membangun saluran air khusus untuk mendukung operasional pengangkutan sampah.
Di sisi lain, metode pengolahan organik open windrow diterapkan—model sederhana tapi kontekstual, terutama di kawasan kuliner yang menghasilkan limbah dapur tinggi.
Dengan kapasitas sekitar 500 kilogram sampah organik per minggu, pendekatan ini mencerminkan pergeseran strategi: dari sekadar angkut-buang, menuju pengolahan berbasis lingkungan mikro.
Masalah tak berhenti di sana. Di RW 6, kerusakan kirmir akibat erosi memaksa koordinasi lintas dinas, dari Satpol PP hingga Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman. Sementara TPS Jalan Ambon masih menyisakan persoalan kewenangan karena berbatasan dengan taman kota dan area militer.
Wali Kota Bandung Muhammad Farhan menegaskan, keterbatasan lahan tak boleh menjadi alasan stagnasi. “Kita harus memikirkan bagaimana cara mengoptimalkan TPS yang ada,” katanya.
Kasus Citarum menjadi cermin pendekatan Pemkot Bandung hari ini: solusi cepat, lokal, dan sangat bergantung pada daya tawar sosial warga. Efektif atau tidak, waktu yang akan menguji.***
Editor : Deny Surya






