Jakarta, BandungOke – Banjir dan longsor tak hanya merobohkan rumah, jalan, dan ladang. Di Aceh, bencana juga memutus sesuatu yang tak kasatmata namun vital: tulang punggung kelistrikan Sumatra.
Jalur transmisi bertegangan 150 kilovolt (kV) Pangkalan Brandan–Langsa—backbone sistem besar Sumatra—terkulai, membuat Aceh terisolasi dalam gelap yang berkepanjangan.
Di tengah lumpur, hujan, dan medan yang berubah menjadi jebakan, PT PLN (Persero) berpacu dengan waktu. Rabu siang, 17 Desember 2025, pukul 13.30 WIB, jaringan itu akhirnya kembali tersambung. Bukan sekadar kabel yang terhubung, melainkan harapan yang perlahan dinyalakan kembali.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menyebut jalur ini sebagai urat nadi utama sistem kelistrikan Sumatra–Aceh.
“Tersambungnya kembali transmisi Pangkalan Brandan–Langsa adalah titik penting dalam pemulihan kelistrikan Aceh. Jalur ini menjadi backbone interkoneksi Sumatra–Aceh, sehingga pemulihannya membuka jalan bagi tahapan lanjutan pemulihan sistem secara menyeluruh,” ujar Darmawan di Aceh Tamiang, Rabu (17/12).
Namun pemulihan ini bukan kisah teknis yang steril. Di baliknya ada pekerjaan darurat yang dilakukan di wilayah yang baru saja dilanda trauma. Tower-tower darurat didirikan di titik-titik transmisi yang rusak—sebuah solusi sementara di atas tanah yang masih bergerak dan basah.
“Dalam prosesnya, pembangunan tower darurat ini dilakukan di tengah kondisi lapangan yang menantang, mulai dari akses lokasi yang terbatas, kontur medan yang labil pascabencana, hingga curah hujan yang tinggi sehingga menyebabkan genangan air dan lumpur yang ekstrem,” jelas Darmawan.
Fakta ini membuka pertanyaan yang lebih besar: seberapa tangguh infrastruktur vital Sumatra menghadapi cuaca ekstrem yang kian sering? Jika satu jalur transmisi bisa melumpuhkan satu wilayah, maka risiko sistemik tak bisa lagi dianggap insidental.
Setelah interkoneksi kembali hidup, PLN memasuki tahap yang tak kalah krusial: menghidupkan pembangkit. PLTU Nagan Raya mulai dipanaskan, disinkronkan, diuji—proses teknis yang membutuhkan waktu setidaknya 48 jam sebelum sistem benar-benar bisa dibebani.
“Pemulihan kelistrikan harus dilakukan berurutan. Setelah interkoneksi aman, kami masuk ke pengoperasian pembangkit agar pasokan yang dihasilkan benar-benar optimal dan dapat menopang sistem secara andal,” tegas Darmawan.
Listrik kemudian akan mengalir perlahan melalui 20 gardu induk, 558 penyulang, dan 15.717 gardu distribusi. Sebuah angka yang terdengar administratif, tapi di baliknya ada rumah-rumah yang menunggu kulkas menyala, rumah sakit yang menggantungkan hidup pada stabilitas arus, dan anak-anak yang belajar di bawah cahaya seadanya.
Lebih dari 1.600 petugas PLN masih bersiaga. Mereka bekerja di wilayah yang sebagian masih tergenang lumpur, dengan risiko keselamatan yang nyata. PLN memilih langkah hati-hati, menormalisasi jaringan sambil memastikan tak ada warga yang menjadi korban lanjutan.
Di titik ini, Darmawan menggeser narasi dari sekadar pemulihan teknis menjadi soal batin dan daya tahan sosial.
“Kami belajar dari semangat dan perjuangan masyarakat Aceh yang tidak pernah padam untuk bangkit dari kondisi bencana ini. Maka tim PLN tidak pernah menyerah karena ini bukan hanya soal memulihkan pasokan listrik, namun ini adalah simbol api perjuangan rakyat Aceh.”
Namun ia juga mengakui luka yang tersisa.
“Kami memahami betul ketidaknyamanan yang dirasakan masyarakat pascabencana. Atas kondisi ini, kami menyampaikan permohonan maaf. Kami memohon doa dan dukungan masyarakat Aceh agar seluruh tahapan pemulihan kelistrikan dapat diselesaikan dengan aman dan cepat,” tutup Darmawan.
Bencana kali ini menyisakan pelajaran pahit: bahwa backbone Sumatra masih rentan, dan perubahan iklim bukan lagi ancaman masa depan. Ia sudah hadir, merobohkan menara, memutus kabel, dan memaksa negara berpacu antara kecepatan pemulihan dan ketahanan jangka panjang.
Di Aceh, listrik kembali menyala. Tapi pertanyaan tentang daya tahan sistem besar Sumatra—masih menyala seterang apa?






