Bandung, BandungOke – Masuknya APBN untuk pakan satwa Kebun Binatang Bandung seharusnya menjadi kabar baik. Namun ketika Wali Kota Bandung Muhammad Farhan merasa perlu meminta pendampingan hukum Kejaksaan sejak awal, publik justru patut bertanya: seberapa rapuh tata kelola yang hendak diperbaiki?
Farhan menyebut pendampingan Kejari sebagai keniscayaan karena dana yang digunakan adalah anggaran negara. “Ini adalah komitmen kita bersama karena yang digunakan adalah anggaran negara,” ujarnya. Pernyataan ini terdengar normatif, tetapi sekaligus mengandung pengakuan: pengelolaan sebelumnya tidak cukup kuat untuk berdiri sendiri tanpa pengawasan ekstra.
Mulai 19 Desember 2025, Kementerian Kehutanan menurunkan APBN khusus untuk pakan satwa. Artinya, negara turun langsung mengurusi kebutuhan paling elementer makhluk hidup yang selama ini terjebak dalam polemik pengelolaan kebun binatang. Negara hadir bukan karena prestasi, melainkan karena krisis kepercayaan.
Pendampingan Kejari bisa dibaca sebagai langkah preventif. Namun di sisi lain, ia juga menandai absennya sistem kontrol internal yang solid. Jika sejak awal kebijakan sudah membutuhkan pengawalan aparat hukum, publik berhak curiga: persoalannya bukan sekadar teknis administrasi, melainkan potensi penyimpangan struktural.
Ketidakjelasan besaran anggaran dari pusat semakin memperkuat kesan kebijakan yang berjalan sambil menunggu. Padahal, isu pakan satwa bukan perkara bisa ditunda. Hewan tidak hidup dari nota kesepahaman, apalagi dari janji koordinasi lintas lembaga.
Soal sumber daya manusia, pemerintah kota kembali melempar bola ke pengelola lama. PHK disebut sebagai urusan yayasan sebelumnya. Secara hukum, mungkin benar. Tapi secara etika kebijakan, negara tak bisa sepenuhnya mencuci tangan dari dampak sosial yang ditinggalkan oleh sistem yang kini ia ambil alih.
Pengawalan Kejari seharusnya tidak berhenti pada pakan satwa. Yang lebih mendesak adalah audit menyeluruh atas tata kelola kebun binatang—agar APBN tidak hanya menjadi plester sementara atas luka lama yang tak pernah benar-benar disembuhkan.






