BANDUNG, BandungOke.com – Di sebuah gang sempit di bilangan Bandung Timur, Mak Enti (62) duduk di beranda rumah yang mulai lapuk dimakan usia.
Wajahnya letih, matanya mengarah pada dapur kecil di belakang yang kini tak lagi sering mengepul. Gas 3 kilogram yang biasa ia beli Rp20.000 kini harus ditebus dengan harga Rp25.000 itupun kalau tersedia.
“Beberapa hari lalu sempat hilang. Kemarin ada, tapi sudah naik. Saya cuma bisa pasrah,” ujarnya, lirih. Bantuan sosial dari pemerintah memang rutin datang, tapi tidak cukup untuk melawan laju harga kebutuhan pokok yang terus merangkak, diam-diam namun pasti.
Di tengah keterbatasan, Mak Enti bukan satu-satunya. Di sisi kota lain, Yatmo (43), perantau dari Jawa Tengah yang membuka warung pecel lele, juga mengeluhkan hal serupa. “Gas rumah tangga sekarang mahal, 23 ribu. Kalau buat usaha, saya sudah pakai yang non-subsidi, tapi tetap saja berat,” keluhnya.
Gas melon bersubsidi seharusnya menjadi pelindung bagi kelompok miskin. Namun kini justru menjadi komoditas langka dan mahal.
Dalam banyak kasus, justru mereka yang tidak berhak yang bisa mendapatkannya dengan mudah dan dalam jumlah besar.
Masalahnya bukan hanya soal harga.
Ini tentang ketimpangan yang makin tajam, tentang negara yang abai pada detail paling dasar: api di dapur rakyatnya.
Kenaikan harga gas 3 kilogram ini bukanlah kejutan pertama. Tapi diamnya pemerintah, lemahnya pengawasan distribusi, dan ketidaktegasan kebijakan membuat situasi ini seperti bom waktu sosial.
Rakyat di lapisan bawah tak lagi sekadar menghadapi kesulitan ekonomi, tapi juga kehilangan rasa percaya. Ketika suara-suara kecil seperti Mak Enti tak terdengar, dan keluhan seperti Yatmo hanya mampir di pinggir berita, maka krisis itu bukan lagi sekadar soal dapur.
Itu sudah menyentuh inti: tentang siapa yang sungguh dilindungi negara ini.***