Sumedang, BandungOke.com – Di tengah kegelisahan terhadap krisis iklim dan keterbatasan akses energi bersih di pedesaan, sekelompok anak muda di Sumedang memilih bertindak.
Mereka memanfaatkan limbah ampas kopi dari kedai-kedai lokal untuk diolah menjadi biogas, menciptakan solusi konkret dari bahan yang kerap dipandang sepele.
Melalui program bertajuk Ground to Gas (G2G), kolaborasi antara komunitas muda dan Enter Nusantara ini menyasar dua persoalan sekaligus: limbah yang tak tertangani dan ketergantungan desa terhadap energi berbasis fosil.
Inisiatif ini tak hanya menjadi jawaban atas isu lingkungan, tapi juga menjadi inspirasi gerakan energi alternatif yang bersumber dari partisipasi akar rumput.
Minggu (29/6), program G2G secara resmi menyerahkan instalasi biogas kepada warga Desa Haurngombong, Kabupaten Sumedang. Momentum ini dirangkai dengan pelatihan teknis serta diskusi bersama warga dan pemerintah desa, membahas pentingnya pengelolaan limbah berbasis komunitas.
“Selama ini kita sering bicara soal transisi energi dari pusat, padahal perubahan bisa dimulai dari desa. Dari kedai kopi, dari sisa ampas, dari niat dan keberanian anak-anak muda,” ujar Naba dari Enter Nusantara dikutip Minggu, (29/6/2025)
Teknologi Ramah Lingkungan dari Ampas Kopi
Berbeda dari teknologi biogas pada umumnya yang mengandalkan kotoran ternak, pendekatan G2G menambahkan limbah ampas kopi sebagai bahan pendamping.
Kombinasi ini menghasilkan gas dengan kualitas lebih baik sekaligus memecahkan masalah limbah dari industri kopi yang tumbuh pesat di perkotaan dan pedesaan.
Sumedang dikenal memiliki ratusan kedai kopi yang setiap harinya menghasilkan limbah organik dalam jumlah besar. Di saat yang sama, banyak rumah tangga di desa masih bergantung pada LPG bersubsidi atau kayu bakar untuk kebutuhan energi.
G2G hadir sebagai jembatan yang mempertemukan dua kutub: membuang yang tak terpakai, dan menyuplai yang kekurangan.
“Ini bukan hanya soal teknologi, tapi soal keberanian anak muda untuk mendengarkan warga dan bekerja bersama mereka. Kita terlalu sering bilang anak muda adalah masa depan, padahal mereka adalah masa kini yang bisa bertindak sekarang,” tambah Naba.
Dampak Langsung bagi Warga
Bagi warga Desa Haurngombong, kehadiran instalasi biogas ini tak hanya berarti kemajuan teknologi, tapi juga penghematan biaya dan peningkatan kualitas hidup.
Seperti yang dirasakan Abad (40), salah satu penerima manfaat.
“Sejak pakai biogas ini, pengeluaran rumah tangga jauh lebih ringan. Dulu tiap bulan harus beli LPG, sekarang bisa hemat. Limbah ternak juga sekarang bisa dimanfaatkan, tidak sekadar dibuang,” tuturnya.
Pelatihan yang digelar mencakup proses fermentasi, perawatan instalasi, dan praktik penggunaan biogas secara aman dan berkelanjutan.
Pendekatan ini mengedepankan partisipasi aktif warga dalam menjaga dan mengelola energi terbarukan di lingkungan mereka sendiri.
Anak Muda sebagai Penggerak Energi Bersih
G2G menjadi bukti bahwa anak muda bukan sekadar peserta seminar atau simbol kampanye. Mereka bisa menjadi pelaku utama dalam transisi energi, menghadirkan solusi dari bawah, bukan hanya menunggu kebijakan dari atas.
Ketika krisis iklim menjadi isu global dan energi bersih menjadi kebutuhan mendesak, program seperti G2G menunjukkan bahwa jawaban bisa datang dari kedai kopi kecil, dari desa terpencil, dari gotong royong. Dan yang paling penting, dari keberanian anak muda untuk mengambil peran.***
Editor : Denny Surya






