Bandung, BandungOke – Rabu sore di Kebun Binatang Bandung memanas dan berubah jadi medan protes. Sekitar 80 orang karyawan yang tergabung dalam Serikat Pekerja Mandiri Derenten (SPMD) mengepung kantor manajemen yang terletak di jantung kebun binatang tertua di Jawa Barat itu.
Bukan karena gaji telat, bukan pula tuntutan fasilitas, melainkan satu hal yang jauh lebih fundamental yakni siapa sebenarnya pengelola kebun binatang ini?
Sejak Taman Safari Indonesia (TSI) masuk dan mengklaim sebagai manajemen baru pada 20 Maret 2025, para pekerja tak pernah melihat selembar pun dokumen legal yang menunjukkan hak kelola sah dari lembaga konservasi elite itu.
“Tidak ada akta, tidak ada SK. Tapi mereka bertindak seolah pemilik. Ini ilegal,” tegas Yaya Suhaya, Ketua SPMD, saat berbicara kepada media, Rabu malam (2/7/2025).
Aksi yang dimulai pukul 16.30 WIB itu bertahan hingga larut malam. Karyawan lintas bidang, seperti dari petugas kebersihan, keeper satwa, bagian operasional, ticketing hingga HRD ikut menuntut klarifikasi. Namun hingga pukul 21.15 WIB, tak satu pun perwakilan manajemen muncul.
“Kami hanya ingin tahu siapa sebenarnya atasan kami. Lalu bagaimana bisa mereka mengelola fasilitas konservasi publik?” kata Yaya dengan nada meninggi.
Ketegangan makin terasa ketika polisi dari Polsek Coblong datang sekitar pukul 20.00 WIB. Namun aparat hanya berjaga dan memantau situasi.
Kebun Binatang atau Lahan Kekuasaan?
Aksi ini menyingkap luka lama dalam tata kelola konservasi di Indonesia: ketertutupan, pengelolaan abu-abu, dan dominasi kelompok elit yang berlindung di balik narasi “penyelamatan satwa.”
Jika benar TSI telah mengambil alih Bandung Zoo tanpa dokumen sah, maka publik punya hak untuk menggugat.
“Ini bukan sekadar konflik administratif. Ini tentang transparansi lembaga publik yang mengurus makhluk hidup. Kalau manajemennya ilegal, siapa yang menjamin satwa tidak disalahurus?” ujar Yaya.
Kebisuan manajemen hanya memperkuat dugaan ada yang disembunyikan. Para pekerja yang selama ini menjaga operasional harian justru menjadi pihak yang paling tak dilibatkan. Tidak ada sosialisasi, tidak ada peralihan tanggung jawab yang transparan.
“Lucu, pengunjung tertawa menikmati libur, kami justru terjebak teka-teki siapa sebenarnya pemilik tempat ini. Kalau ada satwa mati, kami yang disalahkan,” ujar Yaya, penuh getir.
Sengkarut Akta dan Pembiaran Pemerintah
Di tengah kekacauan itu, Gantira Bratakusuma, pembina Yayasan Margasatwa Tamansari, tampil dengan satu dokumen penting yakni Akta Notaris Nomor 40 tertanggal Oktober 2024, yang menyatakan Bisma Bratakusuma sebagai ketua yayasan sah.
Jika benar klaim itu, maka keberadaan TSI di Bandung Zoo harus dipertanyakan dan Pemerintah Kota Bandung serta Kementerian Lingkungan Hidup pun tak bisa lagi tinggal diam.
Ini bukan urusan remeh, ini soal wewenang, hukum, dan kelangsungan hidup spesies langka.
Sementara itu, kebun binatang tetap berjalan di atas bara dimana satwa-satwa diberi makan oleh karyawan yang tak tahu siapa yang akan menggaji bulan depan, dan pengunjung tak sadar bahwa di balik kandang, ada krisis identitas kelembagaan yang akut.***
