Bandung,BandungOke.com – Seperti tamu yang tak tahu diri, belasan orang yang mengaku bagian dari Taman Safari Indonesia (TSI) tetap bertahan di kantor manajemen Bandung Zoo, meski tak lagi punya hak, tak ada izin, dan tak diakui secara legal.
Sudah hampir dua pekan mereka diminta pergi secara baik-baik. Hasilnya? Nihil. Hari ini, Jumat 18 Juli 2025, Serikat Pekerja Mandiri Derenten (SPMD) turun tangan.
Sekitar 120 anggotanya menggeruduk kantor manajemen, menuntut mereka angkat kaki dari tempat yang bukan lagi wilayah kekuasaan TSI.
SPMD tak asal gertak. Sejak 4 Juli 2025, mereka sudah meneken kontrak kerja resmi (bipartit) dengan Yayasan Margasatwa Tamansari (YMT), pemegang izin operasional resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Artinya, sejak hari itu pula TSI tak lagi punya urusan di Bandung Zoo. Tapi yang terjadi di lapangan justru sebaliknya, para “oknum” TSI tidur di kantor, gelar rapat, bahkan menyulap ruang pertemuan menjadi markas.
Tak hanya itu. Mereka juga membawa serta belasan hingga puluhan vendor petugas keamanan Red Guard.
Operasional Bandung Zoo pun terganggu.
Rapat internal SPMD dan YMT harus dipindahkan ke ruangan lain karena ruang meeting dikuasai mereka. Drama ini terjadi pagi tadi, pukul 06.35, saat puluhan pekerja masuk kantor dan mendapati tamu ilegal masih bercokol tak tahu malu.
“Seharusnya mereka paham diri. YMT dan SPMD sudah sepakat menjaga kelestarian flora dan fauna di Bandung Zoo dengan sebaik mungkin, sesuai izin yang berlaku sampai tahun 2033. Jadi tak ada tempat bagi pihak luar yang tidak berkepentingan,” tegas Yaya Suhaya, Ketua SPMD.
Hal senada disampaikan Ketua Dewan Pengawas YMT, Erlov. Bersama kuasa hukumnya, Yovie M. Santosa, ia sudah berulang kali meminta para oknum TSI untuk angkat kaki secara baik-baik.
“Kami wajib memenuhi tuntutan karyawan. Siapa pun yang tidak punya urusan, harus keluar dari ruang manajemen,” katanya.
Namun, permintaan itu tetap diabaikan. Para penghuni gelap kantor manajemen masih bertahan. Tidak jelas atas dasar apa. Yang pasti, menurut para pekerja dan pengelola resmi, kehadiran mereka hanyalah duri dalam daging yang semakin lama semakin menyakitkan.
Situasi ini memperlihatkan wajah lain dari konflik pengelolaan satwa dan konservasi: ego, arogansi, dan rasa memiliki yang kebablasan.
Ketika izin resmi tak lagi di tangan, tapi mental masih merasa berkuasa. Padahal, di tengah tuntutan layanan publik dan pelestarian lingkungan, yang dibutuhkan adalah profesionalisme, bukan drama ala sinetron sore hari.
Bandung Zoo tak butuh penjaga yang ilegal. Tak perlu tamu yang tak tahu malu. Apalagi kalau cuma bikin gaduh dan ganggu kerja.***