Bandung, BandungOke – Di tengah riuh rendah zaman yang semakin bising oleh mesin dan minim jeda untuk refleksi, Bandung Arts Festival (BAF) kembali menyuarakan perlawanan.
Kali ini melalui edisi ke-11 yang mengusung tema tak lazim namun menggugah: “Jejak Budaya Dalam Jelajah Limbah”.
Digelar 25–28 Juli 2025 di Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat, Dago Tea House, BAF#11 bukan sekadar festival seni. Ia adalah panggung kontemplatif yang mempertemukan lebih dari 1.000 seniman lintas disiplin dari dalam dan luar negeri, untuk menyuarakan keresahan sekaligus harapan akan relasi budaya dan lingkungan yang kian renggang.
Dalam pembukaannya, 200 anak menari bersama dalam garapan Ngabatik karya Ine Arini. Sebuah tarian yang tak hanya merayakan Hari Anak Nasional, tetapi sekaligus menyentil kesadaran kolektif: bahwa dari generasi termuda pun, sebuah perubahan bisa digerakkan.
“BAF bukan sekadar pertunjukan. Ia ruang pertemuan dan pertumbuhan,” kata Deden Bulenk, Direktur Festival. “Di tahun ke-11 ini, kami ingin memperkuat kolaborasi lintas generasi dan komunitas. Seni bukan hanya tentang estetika, tapi tentang etika.” katanya, Jumat (25/7/2025)
Limbah sebagai Cermin
Lewat tema tahun ini, BAF secara sadar menantang logika umum. Limbah bukan disingkirkan, melainkan diangkat menjadi bahasa artistik.
Karya-karya dari bahan bekas, instalasi interaktif, hingga pertunjukan budaya, menjadi cermin yang merefleksikan konsumsi, kebiasaan, dan warisan budaya masyarakat hari ini.
Di tangan para seniman, sampah menjelma menjadi kritik diam. Mereka tidak meneriakkan jargon, tapi menelisik lewat medium yang halus namun menghantam.
Dalam tiap serpihan plastik dan potongan kayu bekas, terselip kisah tentang siapa kita, dari mana kita datang, dan ke mana arah kebudayaan dan lingkungan dibawa.
Silaturahmi dalam Aksi
BAF tak berdiri sebagai menara gading seni. Ia adalah silaturahmi budaya, ruang di mana perbedaan disambut bukan dicurigai.
Dalam festival ini, seniman independen yang datang dengan dana sendiri berdampingan dengan kolektif besar, saling menyemai gagasan dan mendobrak batas disiplin.
Inilah yang membuat BAF tak pernah menjadi festival yang tunduk pada kemewahan atau komersialisasi. Tanpa dana besar, BAF justru tumbuh menjadi gerakan yang diperhitungkan di tingkat nasional dan internasional karena satu hal kejujuran dan keberanian artistik.
Seni sebagai Perenungan, Bukan Pertunjukan
Festival ini membebaskan seniman dari tekanan panggung spektakuler. Mereka didorong kembali ke esensi proses. Dalam setiap karya yang lahir di BAF, terlihat upaya untuk menghindari kemasan kosong. Sebaliknya, yang ditampilkan adalah intensitas, ketelatenan, dan kesungguhan dalam menyentuh akar persoalan.
Seni tidak dipakai sebagai pengalihan, tapi justru sebagai jendela pembuka atas masalah sosial, lingkungan, hingga spiritualitas manusia. Di dunia yang kian cepat, BAF meminta kita menepi sejenak.
Parahyangan: Keragaman yang Mempersatukan
Lebih dari sekadar festival, BAF adalah potret keberagaman budaya Parahyangan. Di sinilah, seni menjadi jembatan yang merangkul masyarakat, bukan hanya konsumsi elitis.
Perpaduan antara lokalitas dan globalitas menjadikan BAF sebagai model pariwisata budaya yang autentik, ramah, dan berkelanjutan.
BAF bukan milik elite seni. Ia milik semua. Dari tukang sampah yang karyanya dipajang, hingga anak desa yang menari di panggung utama. Semua memiliki ruang, semua layak didengar.
“Kami ingin mengingatkan diri kami kenapa kami ada,” ujar Bulenk, dengan mata berkaca. “Seni itu bukan milik segelintir orang. Ia adalah denyut yang menghidupkan kita semua.” katanya.
Bandung Arts Festival ke-11 bukan hanya tentang seni. Ia adalah tentang manusia yang tak menyerah pada kebisingan dunia, dan berani menyuarakan kembali apa yang benar-benar penting: keindahan yang jujur, keragaman yang mempersatukan, dan semangat untuk tak berhenti peduli.***
Editor : Deny Surya