Bandung, BandungOke.com – Malam itu, Pendopo Kota Bandung kembali menyala. Lantunan gamelan membuka ruang, memanggil ingatan lama.
Dari balik tirai, para penari dengan kostum gemerlap memasuki panggung. Mereka tengah membawakan lakon Jabang Tutuka, sebuah fragmen kisah Mahabharata yang pernah dipentaskan di tempat yang sama pada tahun 1950.
Seperti menembus waktu, setiap hentakan kaki dan lenggok tangan menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Penonton terhanyut pada adegan kelahiran Jabang Tutuka yang kelak menjelma Gatotkaca, pahlawan bersayap baja.
“Pendopo ini pernah menjadi pusat seni dan budaya masyarakat Sunda. Kami ingin menghadirkan kembali napas sejarah itu,” ujar Prof. Dr. Hj. Een Herdiani, M.Hum, dosen senior ISBI Bandung yang memprakarsai pementasan ini.
Menyambung Jejak yang Nyaris Hilang
Wayang wong, seni pertunjukan wayang yang dimainkan manusia, pernah menjadi kebanggaan masyarakat Priangan. Namun, seiring perubahan sosial, pentas ini kian jarang ditemui di Jawa Barat. Kini, ISBI Bandung berupaya membangkitkan kembali tradisi yang hampir hilang itu.
Di balik panggung, mahasiswa muda ISBI berbaris rapi. Ada yang sibuk membetulkan selendang, ada yang mengulang gerakan tangan. Mereka, generasi baru, mencoba membaca ulang warisan budaya dengan tafsir segar.
“Wayang wong Priangan sudah hampir hilang. Harapan saya, anak-anak muda bisa menghidupkannya kembali, bukan hanya sebagai tontonan, tetapi juga kebanggaan,” kata Prof. Een.
Menara Air, Bukan Menara Gading
Hadir menyaksikan, Rektor ISBI Bandung, Dr. Retno Dwimarwati, S.Sen, M.Hum., menegaskan arah kampus seni itu. “ISBI tidak ingin menjadi menara gading, melainkan menara air yang mengalir ke masyarakat. Melalui seni, kami ingin hadir di tengah kehidupan warga,” ucapnya.
Sejak 2023, ISBI aktif mendorong program agen pemajuan kebudayaan di berbagai daerah. Setelah Kabupaten Bandung dan Bandung Barat, kini Sumedang menjadi panggung berikutnya. Di Rancakalong, ISBI mem-branding sepuluh desa untuk dijadikan pusat budaya Sunda.

Tafsir Baru Generasi Muda
Pementasan Jabang Tutuka malam itu diarahkan oleh generasi muda: Muhammad Mubni Munggaran, Tioba, dan Dery. Mereka menghadirkan tafsir segar tanpa meninggalkan ruh klasik.
“Ini tantangan besar, bagaimana menyesuaikan tradisi dengan ruang yang ada, sekaligus membacanya dengan kacamata generasi sekarang,” jelas Een.
Suara gamelan berpadu dengan lengking sinden, tarian penuh energi menutup pentas. Tepuk tangan panjang penonton membahana, seolah menjadi jawaban bahwa wayang wong masih punya ruang di hati masyarakat.
“Mudah-mudahan wayang wong bisa hidup lagi di Jawa Barat. Bukan sekadar pementasan seremonial, tetapi hadir rutin di ISBI dan sekolah-sekolah,” tutur Een dengan penuh harap.
Malam itu, Pendopo Bandung bukan hanya panggung pertunjukan. Ia menjadi ruang ingatan kolektif, tempat sejarah 75 tahun lalu hidup kembali dalam balutan seni.***






