Jakarta, BandungOke.com – Embun pagi menggantung di antara pucuk kopi dan pohon karet ketika kereta melambat di jalur menanjak.
Di sinilah, di ketinggian 524 meter di atas permukaan laut, Stasiun Mrawan berdiri tenang sejak 1902 menjadi saksi pertemuan antara sejarah, alam, dan denyut ekonomi masyarakat timur Pulau Jawa.
Tak banyak yang tahu, stasiun kecil di jalur Jember–Banyuwangi ini dulunya menjadi nadi perdagangan hasil bumi. Dari sini, kopi, gula, dan beras dikirim menuju berbagai kota besar, menandai peran Mrawan sebagai simpul ekonomi yang menggerakkan kawasan sekitar Gumitir.
Kini, lebih dari seabad kemudian, fungsi itu tumbuh bersama wajah baru: wisata sejarah dan perjalanan alam yang menawan.
Melalui kaca jendela kereta, penumpang disuguhi lanskap perkebunan kopi, kakao, dan karet milik PTPN XII yang terhampar di bawah lembah hijau. Suara roda baja berpadu dengan desir angin, mengiringi perjalanan menuju Terowongan Mrawan terowongan bersejarah sepanjang 690 meter yang dibangun pada 1901–1902.
Di sanalah teknologi kolonial Belanda masih bekerja tanpa lelah, menembus bukit demi menjaga kelancaran konektivitas hingga kini.
Menurut Vice President Public Relations KAI, Anne Purba, Mrawan bukan sekadar stasiun, tapi “wajah transportasi publik yang menggerakkan ekonomi daerah sekaligus menjaga warisan sejarah bangsa.”
“Setiap perjalanan di lintasan Mrawan bukan hanya membawa penumpang, tapi juga nilai tentang keterhubungan manusia, alam, dan masa lalu,” ujarnya, Senin (13/10)
Anne menegaskan, jalur Mrawan hari ini mempertemukan tiga kekuatan utama: transportasi, pertanian, dan pariwisata. Bagi warga sekitar, geliat ekonomi tumbuh dari sektor UMKM, wisata perkebunan, hingga layanan kuliner lokal yang menyambut wisatawan yang singgah.
Kini, Stasiun Mrawan berdiri bukan sekadar bangunan tua di lereng pegunungan. Ia adalah gerbang harmoni tempat di mana kereta, alam, dan sejarah berpadu menjadi satu narasi kebanggaan nasional.***
Editor : Deny Surya