Sawahlunto, BandungOke – Di antara kabut pagi lembah Sumatera Barat, Stasiun Sawahlunto berdiri tenang seperti penjaga waktu.
Bangunannya bergaya kolonial, catnya mulai kusam, tapi keanggunannya masih sama. Di depannya, sesosok hitam legendaris kembali berdiri gagah—Mak Itam, lokomotif uap yang dulu menaklukkan tanjakan tambang Ombilin.
Mak Itam bukan sekadar mesin tua; ia saksi tentang peluh para penambang dan kerasnya hidup di kota tambang yang dulu berdebu. Kini, setelah direstorasi, ia kembali beroperasi, menghela gerbong pendek dalam delapan perjalanan uji coba sepanjang Agustus lalu.
Ketika peluitnya menjerit, warga bersorak. Masa lalu seperti menyalami masa kini.
“Transformasi Stasiun Sawahlunto menghidupkan kembali denyut kehidupan kota,” kata Anne Purba, VP Public Relations KAI. Sabtu (18/10/2025)
“Kawasan stasiun kini menjadi panggung komunitas, ruang edukasi, dan destinasi wisata budaya.” imbuhnya
Kisah Sawahlunto adalah cerita tentang transisi dari industri ke memori. Setelah tambang batu bara tutup awal 2000-an, kota ini nyaris mati. Namun, KAI dan Pemkot Sawahlunto menyulapnya menjadi Museum Kereta Api Sawahlunto, yang kini menjadi bagian dari Warisan Dunia UNESCO — Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS).
Di dalamnya, mesin telegraf, lampu sinyal, hingga catatan pengiriman batubara berjejer rapi. Semua menjadi pengingat bahwa kemajuan pernah berwajah keras dan berasap. Kini, wajah itu dihaluskan oleh museum, wisata, dan sejarah yang dijual kembali dalam bentuk nostalgia.
Namun di balik romantisme heritage itu, muncul kekhawatiran lain: jangan sampai Sawahlunto hidup hanya sebagai kota kenangan. “Pariwisata warisan harus memberi manfaat ekonomi nyata bagi warga, bukan sekadar selfie di depan lokomotif,” ujar seorang warga lokal.
Sawahlunto memang sudah bertransformasi. Tapi di tengah deru Mak Itam yang hidup kembali, masih tersisa tanya: apakah kota ini benar-benar bergerak maju, atau sekadar berjalan di atas rel masa lalu?






