Banten, BandungOke — Ada yang berbeda di lintasan Commuter Line Merak sejak 1 Desember. Deretan kursi yang lebih lapang, ruang bagasi yang tak lazim untuk kelas komuter, dan tumpukan keranjang sayur serta kemasan olahan makanan yang tertata rapi.
Kereta Petani dan Pedagang, layanan baru KAI Group hasil kerja teknis Balai Yasa Surabaya Gubeng, resmi menarik garis demarkasi: bahwa jalur rel bisa kembali menjadi urat nadi ekonomi rakyat, bukan sekadar transportasi harian pekerja.
Peluncuran ini bukan sekadar inovasi transportasi. Ia adalah eksperimen negara untuk mengembalikan fungsi sosial rel—fungsi yang dulu pernah menjadi jantung distribusi hasil bumi, tapi lama hilang di bawah bayang-bayang mobilitas pekerja urban.
Vice President Corporate Communication KAI, Anne Purba, menyebut layanan ini sebagai refleksi kemampuan perkeretaapian nasional menjawab kebutuhan ekonomi lokal.
“Kereta ini dirancang oleh tenaga ahli kami di Balai Yasa Surabaya Gubeng. Setiap detail disiapkan agar perjalanan aman, nyaman, dan tetap tertata, sehingga petani dan pedagang dapat memasarkan produk dengan lebih mudah,” ujar Anne. Selasa (2/12/2025)
Tarif Rp3.000 untuk petani dan pedagang—harga yang nyaris simbolis—muncul berkat skema Public Service Obligation (PSO) DJKA Kemenhub. Di balik tarif murah itu, terbentang strategi pemerintah untuk mendekatkan pasar, memotong biaya logistik mikro, dan menggeser distribusi barang berskala kecil agar lebih efisien.
Kereta yang disiapkan KAI memiliki 73 kursi dan area bagasi yang diatur ulang agar muat dua koli barang berukuran 100 x 40 x 30 cm per pengguna. Layanan ini dirangkaikan ke 14 perjalanan Commuter Line Merak per hari, melintasi 11 stasiun dari Rangkasbitung hingga Merak. Syaratnya sederhana: pemilik usaha perlu mendaftarkan Kartu Petani dan Pedagang agar dapat membeli tiket H-7 atau boarding lebih awal.
Di lapangan, sistemnya berjalan seperti logistik kecil yang terorganisir. Penumpang membawa sayuran pagi, keripik, makanan olahan, hingga kerajinan. Pada hari pertama operasi, 95 pengguna tercatat memanfaatkan layanan baru ini dari total 12.391 penumpang Commuter Line Merak.
Kereta ini bukan sekadar alat angkut. Ia adalah negosiasi ulang ruang ekonomi di jalur rel: bagaimana petani kecil bisa menembus pasar Serang, Cilegon, hingga Merak tanpa ongkos angkutan darat yang bengkak.
Bagi Anne, desain Balai Yasa Surabaya Gubeng menjadi titik penting: kuat secara teknis, fungsional secara sosial.
“Layanan ini membantu kelancaran aktivitas perdagangan harian masyarakat, khususnya petani dan pedagang kecil yang mengandalkan transportasi berbasis rel. KAI akan terus berkolaborasi dengan Pemerintah untuk menghadirkan layanan yang memberi manfaat sosial dan ekonomi,” tutup Anne.
Terlihat jelas bahwa Kereta Petani dan Pedagang bukan sekadar program baru, tetapi langkah untuk mengembalikan rel sebagai koridor ekonomi rakyat.
Jika eksperimen ini berhasil di Merak, bukan tidak mungkin jalur–jalur komuter lain menyusul, menghadirkan ekosistem ekonomi mikro yang bergerak di atas roda baja.***






