Bandung, BandungOke — Matahari condong ke barat ketika ruang amphitheater Lawangwangi Creative Space dipenuhi seniman, kurator, akademisi, dan keluarga besar G. Sidharta.
Di antara sambutan, tepuk tangan, dan kilatan kamera, satu momen terpatri kuat: dibukanya Galeri G. Sidharta, sebuah ruang penghormatan dan penjagaan atas warisan salah satu tokoh utama seni patung modern Indonesia.
Berlokasi di ketinggian Dago Giri, Bandung Barat, galeri ini bukan hanya tempat memamerkan karya. Ia adalah sebuah janji yang ditepati, sebuah amanah dari Gregorius Sidharta Soegijo yang disampaikan melalui putranya kepada Andonowati, Direktur ArtSociates.
Sejak 2018, ArtSociates secara bertahap mulai menata ulang katalog karya G. Sidharta, merawat molding-molding yang belum diwujudkan, dan menyusun arsip sebagai fondasi Museum G. Sidharta di masa depan.
“Lebih dari 100 karya, dan 60 persen di antaranya masih dalam bentuk molding. Kami memproduksi edisi yang belum habis, bukan untuk komersialisasi semata, melainkan untuk mendanai pengelolaan museum,” ujar Andonowati, Sabtu (14/6/2025).
Galeri ini dibuka dengan dua pameran bertema kuat. “Corpus & Amorf”, hasil kurasi Heru Hikayat, menelusuri tubuh sebagai medan eksplorasi artistik G. Sidharta. Sementara pameran kedua, “A Glimpse of Indonesian Formalism”, menghadirkan karya lintas tokoh seperti Mochtar Apin, Simon Admiraal, hingga Umi Dachlan, membentangkan lintasan formalisme dari Bandung hingga Yogyakarta.
“G. Sidharta mengolah tubuh bukan sekadar bentuk, tapi sebagai ekspresi nilai dan spiritualitas,” kata Heru Hikayat dalam pembukaan pameran.
Warisan di Tengah Pegunungan
Berjalan di antara karya patung G. Sidharta di ruang galeri adalah seperti memasuki ruang tafsir. Tubuh manusia yang tak sempurna, ornamentasi yang menyelipkan kebudayaan lokal, hingga molding-molding yang terasa seperti fragmen dari pikiran yang belum selesai.
Ini adalah warisan yang tidak hanya berbicara dalam bentuk, tapi juga dalam gagasan.
Dr. Willy Himawan MSn, akademisi seni rupa dari ITB yang turut membuka pameran, menyebut galeri ini sebagai momen penting dalam sejarah seni rupa Indonesia.
“Biasanya museum seniman dikelola keluarga. Kali ini dikelola komunitas seni rupa. Ini langkah penting bagi pendidikan dan publikasi sejarah seni kita,” ujarnya.
Keluarga yang Mengarsipkan
Di balik layar, ada Paramitha Palupi, cucu G. Sidharta, yang kini menjadi pengelola utama arsip keluarga. Dengan latar belakang arsitektur, ia menjadi jembatan antara warisan leluhur dan dunia seni masa kini.
“Sebagian besar karya dan dokumen dari Yogyakarta sudah kami relokasi ke Lawangwangi. Kami sedang terus menyiapkan tahap berikutnya menuju museum,” kata Paramitha.
Ia menyebutkan bahwa ArtSociates telah menyusun rencana tematik pameran untuk beberapa tahun ke depan, dengan Galeri G. Sidharta sebagai titik tolaknya.
Galeri Sebagai Ruang Ingatan
Lebih dari sekadar ruang seni, Galeri G. Sidharta adalah ruang ingatan kolektif, tempat publik bisa menelusuri ulang jejak artistik sosok yang pernah mendefinisikan ulang bentuk tubuh dan ruang dalam seni patung Indonesia.
Di tempat ini, sejarah bukan sekadar dokumen, tapi hadir dalam rupa dan bentuk yang dapat disentuh, diamati, dan direnungi.
Di lereng Dago, seni rupa Indonesia kini punya tempat baru untuk menoleh ke masa lalu dan melangkah ke depan—dengan tubuh, gagasan, dan ingatan yang terus hidup.***