Bandung, BandungOke – Wayang Wong atau wayang orang di Priangan bukan sekadar pertunjukan panggung, melainkan cermin sejarah dan identitas budaya Sunda.
Hal itu mengemuka dalam Seminar Wayang Wong Priangan bertema “Kajian Jejak Tubuh dan Arsip Wayang Wong dalam Ingatan dan Dokumentasi” di Pendopo Kota Bandung, Jumat (22/8).
Acara yang dipandu Pepep DW menghadirkan maestro tari Muhamad Aim Salim, etnomusikolog Endo Suanda, serta tokoh seni Asep Sulaeman dan Raden Ahyar Sutedi atau yang akrab disapa Pa Oyo.
Diskusi menyingkap keterhubungan Wayang Wong Priangan dengan tradisi Sandiwara Sunda serta pentingnya dokumentasi agar jejak seni ini tidak lenyap ditelan zaman.
Jejak dari Sandiwara Sunda
Maestro tari Aim Salim menekankan bahwa Wayang Wong Priangan lahir dari tradisi Sandiwara Sunda yang memiliki sejumlah pakem cerita.
“Mengapa saya berbicara tentang Sandiwara Sunda ketika membahas Wayang Wong Priangan? Karena pengalaman saya menunjukkan bahwa lahirnya Wayang Wong Priangan tidak bisa dilepaskan dari tradisi Sandiwara Sunda,” kata Aim.
Sandiwara Sunda, menurutnya, memiliki empat pakem yakni pakem babat yang mengangkat kisah kerajaan, pakem desik dengan latar Timur Tengah, pakem roman yang merekam kehidupan sehari-hari, serta pakem wayang yang menuntut pemain menguasai gerak tari sekaligus memahami kaidah pewayangan.
“Keunikan Wayang Wong Priangan terletak pada tuntutan keterampilan khusus bagi setiap pemerannya. Tidak sekadar berdialog, tapi tubuh aktor menjadi pusat ekspresi yang hidup,” ujarnya.

Arsip Tubuh dan Ingatan
Pada masa jayanya, pertunjukan Wayang Wong Priangan kerap dipentaskan pada malam Minggu, menghadirkan layar panggung bergambar keraton, hutan, atau taman sari. Pertunjukan ini menjadi magnet sosial yang mempertemukan penonton sekaligus pedagang dari berbagai daerah.
Namun, seiring berjalannya waktu, seni ini semakin jarang dipentaskan. Etnomusikolog Endo Suanda mengingatkan bahwa dokumentasi menjadi kunci keberlanjutan.
“Kita sering abai mendokumentasikan seni pertunjukan. Padahal, jejak tubuh, naskah, dan rekaman pertunjukan adalah warisan yang bisa dipelajari generasi mendatang,” katanya.
Upaya Revitalisasi
Kini, lembaga pendidikan seperti ISBI Bandung bersama komunitas seni berusaha menghidupkan kembali Wayang Wong Priangan melalui kurikulum, penyuluhan, hingga festival. Tantangan besarnya adalah menjaga pakem tradisi sambil menyesuaikannya dengan selera penonton masa kini.
Seminar ini menjadi pengingat, Wayang Wong Priangan bukan hanya warisan seni pertunjukan, tetapi juga laboratorium tubuh, ruang kritik sosial, dan arsip hidup kebudayaan Sunda.***