“Kisah sederhana tentang pelayanan yang melampaui tugas, lahir dari ketulusan di peron malam”
Bandung, BandungOke.com – Di Stasiun Cimekar, malam tak selalu tentang jadwal keberangkatan dan suara roda besi yang bersua rel.
Kadang, ia menghadirkan kisah kecil yang hangat, tentang ketulusan, tentang pelayanan yang tak tercantum dalam buku panduan.
Malam itu, seorang bapak sekitar usia 49 atau 50 tahun, datang lebih awal dari jadwal keberangkatan KA relasi Cimekar–Purwakarta.
Kereta yang akan membawanya berangkat pada pukul 21.19 WIB. Namun, sejak pukul tujuh malam, ia sudah duduk menunggu di ruang tunggu, ditemani saudara perempuannya. Tak ada ponsel di tangannya.
Tiket perjalanan pun tersimpan di gawai sang saudara, yang tak bisa menunggu lama.
Di titik itulah Nurulqolby, petugas passenger service Stasiun Cimekar, mengambil inisiatif sederhana namun bermakna.
Ia memotret tiket sang bapak, memastikan perjalanan itu tetap aman, meski waktu pemindaian belum tiba.
“Beliau datang jauh lebih awal. Karena tiketnya ada di HP saudaranya, saya berinisiatif memfoto tiket itu supaya nanti pas boarding tidak ada kendala,” tutur Nurulqolby melalui aplikasi pesan singkat. Selasa (16/12/2025)
Ketika waktu boarding tiba, Nurulqolby memanggil sang bapak dan memindai tiketnya. Di sela itu, sang bapak bertanya pelan. Adakah tempat membeli makanan di dalam stasiun untuk mengganjal perutnya.
Tak ada, Food court berada di depan, dan harus keluar area parkir. Jaraknya cukup jauh bagi seseorang paruh baya dengan bawaan yang tak sedikit yakni satu tas besar jinjing dan satu totebag.
Bingung, ragu, dan barangkali lelah.
Nurulqolby melihat kegamangan itu. Tanpa banyak pertimbangan, ia menawarkan bantuan yang tak diwajibkan oleh seragamnya.
“Saya bilang, tasnya boleh dititipkan ke saya saja di boarding. Saya jagain. Tapi tidak lama, karena memang tidak ada penitipan resmi,” katanya.
Ia mengingatkan agar barang berharga dibawa. Namum, sang bapak menggeleng kepalanya, “hanya pakaian,” katanya. Lalu ia melangkah ke depan stasiun, membeli bekal untuk perjalanan malamnya.
Beberapa menit berselang, ia kembali. Bukan hanya dengan makanan. Di tangannya, ada es krim.
“Beliau bilang, ‘Ini saya niat beli buat tetehnya,’” kenang Nurulqolby.
Es krim itu hendak diberikan kepada petugas yang tadi menjagakan tasnya. Nurulqolby menolak halus. Tak perlu repot, katanya. Tapi sang bapak bersikeras. Ia bahkan sempat mencari es krim merek magnum, namun—tak menemukannya—lalu membeli apa yang ada.
Kebaikan, rupanya, tak perlu besar untuk terasa dalam. Ia hanya perlu tulus.
“Katanya, yang penting niatnya,” ujar Nurulqolby, tersenyum mengingatnya.
Kereta pun berangkat. Sang bapak melanjutkan perjalanan ke Purwakarta. Tak ada tepuk tangan. Tak ada sorotan. Hanya perasaan hangat yang tertinggal di peron.
Di Stasiun Cimekar, malam itu, pelayanan tak berhenti pada tugas. Ia menjelma empati. Dan seperti rel yang selalu bertemu kembali di kejauhan, kebaikan—dengan caranya sendiri—selalu menemukan jalan pulang untuk dibalas dengan kebaikan.***






